Rabu, 11 Juli 2012

Nasib guru agama honorer DKI Jakarta terkatung-katung

Pendidikan moral sangat penting bagi berlangsungnya pembangunan bangsa ini kedepan, terlebih dalam kondisi  moral sebagian pejabat yang sudah tidak malu lagi mengambil  harta Negara yang notabenenya adalah milik rakyat juga untuk kepentingan golongannya dan pribadi. Pendidikan karakter bangsa yang telah dicanangkan pemeriintah, bisa jadi sebatas lipstick atau mungkin sekedar opini yang pada akhirnya akan menjadi proyek yang mubadzir seandainya jika para pejabatnya tidak menunjukan sifat yang baik. Bagaimana mungkin para peserta didik diajarkan pemahaman karakter bangsa, sedangkan pembuat kebijakan masih ada yang mempunyai karakter tidak terpuji dengan melakukan tindak pidana korupsi yangmerugikan bangsa dan Negara.
    Guru agama tentu pihak yang mempunyai tanggung jawab paling besar dalam membentuk karakter bangsa ini kedepan. Disamping itu, guru agama juga merupakan garda terdepan yang mengajarkan serta menanamkan nilai - nilai toleransi dan demokrasi antar keyakinan.
    Dalam Undang - Undang Dasar 1945, butir sila pertama mempunyai arti yang sangat luas yang hakekatnya mengajarkan kita untuk percaya pada Sang Pencipta, dimana didalamnya akhlak dan budi pekerti yang baik adalah harga mati yang harus ditanamkan pada setiap orang. Selain itu didalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), akhlakul ulia menjadi acuan utama dalam menanamkan nilai - nilai kehidupan yang harmonis dan bermoral. Namun,  disisi lain guru agama sebagai mesin roda penggerak moral terkadang mendapat diskriminasi dibanding guru dibidang studi lainnya, terlebih guru agama honorer.
    Hal yang menjadi kita miris mendengarnya, ada guru agama honorer di provinsi DKI Jakarta yang sudah mengabdi selama 12 tahun, namun nasibnya menggantung. Ketika dia menanyakan hak - haknya  kepada Kantor Wilayah Departemen Agama DKI Jakarta tentang kepegawaianya untuk diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Depagpun manyatakan tidak berhak merekomendasikan pengangkatan Guru Agama Islam yang mengajar disekolah - sekolah umum negeri karena structural mereka dibawah naungan Pemerintah Daerah (Pemda DKI). Pihak Pemda pun menyatakan bahwa sejak tahun 1986 guru - guru agama tidak lagi menjadi tanggung jawab Pemda DKI Jakarta dalam hal pengangkatan. Dengan kata lain antara Pemda (Suku Dinas Pendidikan)DKI  Jakarta dan Kanwil Depag saling lempar tanggungjawab terhadap guru - guru agama honorer yang mengajar disekolah - sekolah negeri.
    Tidak hanya itu, masalah sertifikasi guru - guru agama nonorer yang mengajar dinegeri  juga terkesan diperlambat dengan alasan menghabiskan dahulu kuota guru - guru PNS. Sedangkan unutk guru-guru yang berada dibawah naungan  Kementrian Agama (guru - guru Madrasah) disertifikasi walau masa kerjanya jauh dibawah guru - guru agama honorer disekolah - sekolah umum negeri. Mereka berdalih bahwa guru - guru dibawah naungan langsung Depag mempunyai prioritas dalam hal ini karena terkait Peraturan Pemerintah . Lalu siapa yang perlu bertanggung jawab dalam hal ini ? Bukankan setiap waga Negara mempunyai hak - hak yangsama selagi tidak menyalahi aturan, apalagi menyangkut peningkatan professionalism.
    Padahal fakta dilapangan banyak guru-guru agama yang berstatus PNS sudah pension dan lanjut usia, sedangkan untuk regenerasi sangat lamban. Artinya berdasarkankebutuhan, sebenarnya pemerintah provinsi DKI Jakarta sangat memerlukan tenaga pengajar guru agama. Jika ini dibiarkan, kemana nasib para guru agama honorer ini berlabuh. Apakah selamaya menjadi  “ anak tiri ?
    Semoga kedepan nasib guru-guru agama honorer enjadi prioritas dalam membentuk karakter bangsa ini kedepan. Guru agama honorer tidak lagi dijadikan obyek pelengkap semata tanpa memperhatikan kesejahteraan dan nasib mereka dengan tanggungjawab yang begitu berat dalam membentuk moral peserta didik. Semoga pemerintah baik pusat ataupun Pemda provinsi DKI Jakarta melihat perjuangan dan pengabdian guru - guru agama honorer dengan memperhatikan nasib mereka kedepan. *RS*

0 komentar:

Posting Komentar